Akar “Bertuah” dari Kawah Domas

Oleh Tarjum Sahmad


 Akar pohon Manarasa berbentuk ular melilit yang diambil dari pinggir kawah Domas


Kenapa saya menyebutnya akar “bertuah”?

Coba anda perhatikan dengan teliti gambar di atas. Itu adalah akar kayu yang bentuknya unik, seperti ular yang melilit batang pohon.

Akar kayu ini seperti bentuk aslinya saat masih menyatu dengan pohonnya. Akar pohon berbentuk ular melilit ini diambil dari pinggir kawah gunung Tangkuban Parahu.

Ada cerita unik dibalik akar pohon pegunungan ini. Cerita yang tak akan terlupakan seumur hidup saya. Silakan simak cerita unik dan menarik dibalik akar pohon ini.

Saya paling suka wisata pegunungan, hawanya sejuk pemandangannya menawan. Wisata pegunungan terdekat dengan domisili saya di Subang, adalah obyek wisata Gunung Tangkuban Perahu (GTP). Lokasinya berada di perbatasan Subang dan Bandung.

Saya sering berkunjung ke GTP. Banyak kenangan indah di sana. Karena itu saya tak pernah bosan berkunjung ke gunung yang terkenal dengan legenda “Sangkuriang” ini.

Kenangan menarik, unik dan seru di GTP saya alami dengan tiga orang teman SMA pada tahun 1992 silam.


Area parkir Gunung Tangkuban Parahu


Setelah turun dari bis yang membawa rombongan Study Tour GTP, semua siswa berhamburan menuju ke beberapa lokasi kawah yang indah dan eksotik.

Kami berempat (Saya, Wawan, Epul dan Sunara) memisahkan diri dari rombongan besar, menuju sebuah kawah yang katanya masih aktif, kawah Domas namanya. Lokasi kawah Domas agak jauh dan tersembunyi dari pusat area wisata. Untuk sampai ke sana kami harus menuruni jalan setapak yang berkelok-kelok dan cukup terjal.



Jalan setapak menurun menuju kawah Domas


Akhirnya kami berempat sampai juga di lokasi kawah. Benar saja kawah tersebut masih aktif, tampak letupan-letupan magma di beberapa titik. Bau belerang terasa menyengat. Pemandangannya indah sekali. Tak ada pengunjung lain selain kami berempat di lokasi kawah tersebut.

 Kawah Domas yang sepi



 Beberapa titik kawah Domas tampak masih aktif mengepulkan asap


Kami turun mendekati kolam-kolam air panas yang tampak mendidih. Setelah puas menikmati pemandangan di sekitar kawah yang tampak sunyi tersebut, kami berempat memutuskan segera kembali ke lokasi parkir bis.

Di tengah perjalanan, saya melihat sebuah akar pohon yang tampak unik, seperti ular yang melilit batang pohon, Manarasa nama pohonnya. Saya berhenti dan coba menarik akar tersebut. Ternyata tak bisa, akar itu harus dipotong dulu.

Saya dibantu teman-teman mencari-cari pisau atau golok di sebuah gubuk kosong di pinggir jalan. Eh, ternyata saya menemukan sebuah golok. Mungkin bekas orang yang jualan di gubug itu.

Mulailah saya memotong akar pohon Manarasa yang bentuknya unik itu. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk memotong dan mangambil akar pohon itu. Setelah saya berhasil memotong akar pohon tersebut, kami berempat bergegas menuju tempat parkir bis.

Langit tampak mendung, sepertinya tak lama lagi akan turun hujan. Kami setengah berlari mendaki jalan setepak yang menanjak dan berkelok-kelok. Tak lama kemudian, hujan turun. Makin lama hujan makin lebat. Kami terus berlari agar segera sampai di lokasi.


Pemandangan dari salah satu sisi kawah Ratu yang eksotik


Sesampainya di area parkir, dengan napas yang masih tersengal, kami berempat kaget bukan kepalang, bis yang tadi parkir di sana, sudah tak ada. Kami coba mencari-cari di area perkir lain, juga tak kami temukan. Kami berempat mengambil kesimpulan, bahwa bis yang membawa kami ke GTP sudah pulang dan kami ketinggalan.

Kami tak habis pikir, mengapa panitia study tour tidak mengabsen dulu dan memastikan semua siswa sudah masuk ke bis sebelum pulang?

Tapi kami berempat berpikir positif tentang kejadian unik ini. Kami anggap perjalanan pulang kami akan menjadi petualangan yang seru dan asyik.

“Gimana nih, kita pulang?” tanya Wawan.

“Ya. udah kita pulang cari tumpangan aja”, kata Sunara.

Dua orang teman saya itu tergolong anak yang periang, cuek kadang nyeleneh. Beda dengan saya dan Epul yang serius dan pendiam.

Saya, Epul dan Wawan setuju dengan usul Sunara, kita berempat akan cari tumpangan untuk pulang. Dengan tubuh basah kuyup diguyur hujan, kami memulai petualangan pulang, meninggalkan Gunung Tangkuban Perahu nan indah dan eksotik.

Kawah Ratu yang menawan


Kami harus berjalan beberapa kilometer dari pusat obyek wisata kawah GTP ke jalan raya. Akar pohon yang tadi saya dapet di dekat kawah gak saya buang, saya bawa sebagai kenangan, gara-gara akar pohon inilah kami ketinggalan..hehe…

Sesampainya di jalan raya, kami terus berjalan sambil sesekali menyetop truk dan mobil bak terbuka yang lewat. Akhirnya ada juga sopir yang baik hati memberi kami tumpangan.

Mobil bak terbuka yang kami tumpangi ternyata, belok ke arah jalan yang berbeda dengan arah tujuan kami. Kami harus turun dan berjalan kaki lagi sambil menyetop mobil lain yang mau berbaik hati memberi kami tumpangan. Kami sampai berganti tiga kali tumpangan untuk sampai di rumah kami masing-masing yang beda desa.

Sesampainya di rumah sekitar jam 7 malam, orang tua saya panik, mencari saya kesana-kemari dan menanyakan ke teman-teman sekolah saya yang ikut study tour. Yang kasihan ibu, ketika saya sampai di rumah, dia sedang nangis, khawatir terjadi apa-apa dengan anaknya. Ketika melihat saya datang, ibu langsung memeluk saya sambil menangis haru dan bahagia.

Setelah kejadian itu, saya beberapa kali berkunjung kembali ke GTP dengan teman-teman. Kadang rombongan naik mobil atau menggunakan sepeda motor.

Akar pohon yang saya ambil dari pinggir kawah GTP, saya simpan sebagai kenangan. Akar itu saya keringkan lalu dikuliti, digosok sampai halus dan dicat vernis agar tahan lama. Karena bentuknya seperti ular melilit, ujungnya saya bentuk menjadi seperti kepala ular yang mendongak. Maka jadilah Akar “Bertuah” dari kawah Tangkuban Parahu.

Belakangan saya sempat berpikir, jangan-jangan “penunggu” Gunung Tangkuban Parahu gak rela salah satu bagian darinya, akar pohon di pinggir kawah saya potong dan saya ambil? Karena gak rela, kami berempat seolah ditahan agar tak keluar dari lokasi membawa akar pohon itu, hingga kami tertinggal dari bus rombongan study tour.

Ah, entahlah. Itu mungkin hanya perasaan saya saja yang terbawa aura mistik Gunung Tangkuban Parahu.

Tapi, kejadian ini menjadi pelajaran bagi saya, bahwa kita tidak boleh merusak tempat-tempat wisata atau alam yang kita kunjungi. Justru tugas kita untuk menjaga dan melestarikannya agar bisa kita wariskan kepada anak cucu.



Sunber Foto : www.jabarprov.go.id, lafasahotel.blogspot.com, bandung.panduanwisata.com, www.kaskus.co.id, www.tempo.co, galeriwisata.wordpress.com, www.tripadvisor.com

2 komentar:

  1. Julia's World mengatakan...:

    menarik sekali ceritanya Pak Tarjum ... :)

  1. Tarjum mengatakan...:

    Makasih kunjungan dan komentarnya. Syukur deh klo dianggap menarik. itu emang true story kami berempat. awalnya sempat bikin kita kaget dan bingung...namun akhirnya malah terasa asyik dan jadi kenangan unik sampai sekarang.

Posting Komentar

ShareThis

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Wisata Subang © 2013 | Template by Blogger Templates Gallery collaboration with Life2Work